Perpustakaan Besar Aleksandria di Kota Aleksandria, Mesir merupakan salah satu perpustakaan terbesar dan terpenting pada zaman kuno. Perpustakaan ini merupakan bagian dari sebuah lembaga penelitian yang lebih besar, Mouseion, yang dipersembahkan untuk para Musai (sembilan dewi yang melambangkan seni). Gagasan mengenai sebuah perpustakaan untuk segala bidang di Aleksandria mungkin diusulkan oleh Demetrios dari Faleron (seorang negarawan asal Athena yang menjalani pengasingannya di Aleksandria) kepada Raja Ptolemaios I Soter pada zaman Helenistik. Rancangan untuk mendirikan perpustakaan ini mungkin sudah disusun pada masa raja tersebut, tetapi perpustakaan ini kemungkinan baru dibangun pada masa pemerintahan anaknya, yaitu Ptolemaios II Filadelfos. Berkat dukungan dari raja-raja Wangsa Ptolemaios, perpustakaan ini dengan segera memperoleh banyak sekali gulungan papirus. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah gulungan papirus yang disimpan di perpustakaan ini, tetapi perkiraannya berkisar antara 40.000 hingga 400.000 gulungan.
Salah satu alasan Aleksandria dianggap sebagai pusat keilmuan dan pembelajaran adalah keberadaan perpustakaan ini. Banyak cendekiawan terkenal yang bekerja di perpustakaan ini pada abad ketiga dan kedua SM, seperti Zenodotos dari Efesos yang berupaya membakukan naskah puisi-puisi Homeros, Kalimakos yang menulis Pinakes (kadang dianggap sebagai katalog perpustakaan pertama di dunia), Apolonios dari Rodos yang menyusun puisi wiracarita Argonautika, Eratostenes dari Kirene yang menghitung keliling Bumi dengan keakuratan yang hanya meleset sedikit, Aristofanes dari Bizantion yang menciptakan sistem diakritik Yunani dan adalah orang pertama yang membagi naskah-naskah puisi menjadi baris-baris, serta Aristarkos dari Samotrakia yang membuat naskah definitif puisi-puisi Homeros dan menulis ulasan-ulasan panjang untuk puisi-puisi tersebut. Pada masa kekuasaan Ptolemaios III Euergetes, sebuah cabang perpustakaan didirikan di Serapeion, yang merupakan sebuah kuil yang dipersembahkan untuk dewa Serapis dalam kepercayaan Yunani-Mesir.
Walaupun pada masa modern terdapat anggapan bahwa perpustakaan ini pernah "dibakar" dan dihancurkan, perpustakaan ini sebenarnya sudah mengalami kemunduran secara bertahap dalam kurun waktu beberapa abad. Kemunduran ini dimulai dari pengusiran pada cendekiawan dari Aleksandria pada tahun 145 SM atas perintah dari Ptolemaios VIII Fiskon, yang berujung pada keputusan Aristarkos dari Samotrakia yang menjabat sebagai kepala perpustakaan untuk mengundurkan diri dan kemudian mengasingkan diri ke Siprus. Banyak cendekiawan lain yang juga melarikan diri ke kota lain (seperti Dionisios Traks dan Apolodoros dari Athena). Perpustakaan ini atau sebagian dari koleksinya terbakar secara tidak sengaja oleh Yulius Kaisar selama peristiwa perang saudara pada tahun 48 SM, tetap tidak diketahui secara pasti seberapa banyak gulungan yang hancur. Tampaknya perpustakaan ini masih dapat bertahan atau dibangun kembali tidak lama sesudahnya; pakar geografi kuno yang bernama Strabo menulis bahwa ia pernah mengunjungi Mouseion sekitar tahun 20 SM, sementara karya cendekiawan Didimos Kalkenteros di Aleksandria dari masa ini menunjukkan bahwa ia mungkin dapat mengakses paling tidak sebagian dari koleksi di perpustakaan ini.
Perpustakaan ini mengalami kemerosotan pada zaman Romawi akibat kekurangan dana. Keanggotaan perpustakaan ini sepertinya sudah tidak ada lagi pada dasawarsa 260-an. Pada tahun 270 hingga 275, pemberontakan meletus di Aleksandria, dan serangan balasan Kekaisaran Romawi tampaknya menghancurkan sisa dari perpustakaan ini (kalaupun perpustakaan ini memang masih ada pada masa tersebut). Cabang perpustakaannya di Serapeion mungkin dapat bertahan lebih lama. Serapeion dirusak dan dihancurkan pada tahun 391 sesuai dengan maklumat Paus Teofilos dari Aleksandria, tetapi tampaknya perpustakaan ini sudah tidak menyimpan buku pada masa tersebut dan gedungnya dipakai sebagai tempat berkumpulnya para filsuf beraliran neoplatonisme yang mengikuti ajaran Iamblikos.
Patung kepala dari zaman Helenistik yang menggambarkan Ptolemaios I Soter, kini disimpan di Louvre, Paris
Salinan patung Aleksander yang Agung buatan Romawi, kini disimpan di Ny Carlsberg Glyptotek, Kopenhagen
Perpustakaan Aleksandria bukanlah perpustakaan pertama di dunia.[3][10] Perpustakaan-perpustakaan lain sudah ada di Yunani dan kawasan Timur Dekat sejak lama.[3][11] Arsip tulisan pertama yang tercatat dalam sejarah terletak di Kota Uruk di peradaban Sumeria kuno sekitar tahun 3400 SM, ketika manusia baru saja mengembangkan tulisan.[12] Pengumpulan naskah-naskah oleh para ahli dimulai sekitar tahun 2500 SM.[12] Kerajaan dan kekaisaran kuno di kawasan Timur Dekat juga memiliki tradisi pengumpulan buku.[13][3] Bangsa Het dan Asiria memiliki arsip raksasa yang berisikan catatan-catatan dalam berbagai bahasa.[13] Perpustakaan paling terkenal di kawasan Timur Dekat pada zaman kuno adalah Perpustakaan Asyurbanipal di Niniwe yang didirikan pada abad ke-7 SM oleh Raja Asiria Asyurbanipal (berkuasa 668 hingga sekitar tahun 627 SM).[12][3] Di Babilonia, sebuah perpustakaan besar juga pernah ada pada masa Nebukadnezar II (berkuasa sekitar tahun 605 hingga 562 SM).[13] Di Yunani, penguasa Athena Peisistratos konon pernah membuka perpustakaan umum besar pertama pada abad ke-6 SM.[14] Tradisi pengumpulan buku di Yunani dan Timur Dekat inilah yang melahirkan gagasan pendirian Perpustakaan Aleksandria.[15][3]
Raja-raja Makedonia yang menggantikan Aleksander yang Agung sebagai penguasa Timur Dekat ingin mendorong penyebaran budaya Helenistik dan pembelajaran di wilayah dunia yang saat itu telah mereka ketahui.[16] Sejarawan Roy MacLeod menyebutnya "program imperialisme budaya".[4] Maka dari itu, para penguasa ini memiliki kepentingan dalam upaya untuk mengumpulkan dan menyusun keterangan dari Yunani maupun dari kerajaan-kerajaan kuno di Timur Dekat.[16] Keberadaan perpustakaan meningkatkan martabat suatu kota, menarik para cendekiawan, dan membantu penguasa dalam memerintah negara.[4][17] Oleh sebab itu, setiap kota Helenistik besar memiliki sebuah perpustakaan kerajaan.[4][18] Namun, Perpustakaan Aleksandria merupakan suatu hal yang baru;[4][19] tidak seperti perpustakaan-perpustakaan sebelumnya, para penguasa dari Kerajaan Ptolemaik ingin mendirikan tempat penyimpanan semua pengetahuan.[4][5]
Patung kepala yang ditemukan selama penggalian di Villa dei Papiri. Patung kepala ini menggambarkan Ptolemaios II Filadelfos, yang diyakini sebagai pendiri Perpustakaan Aleksandria sebagai suatu lembaga, walaupun rancangan perpustakaannya mungkin dikembangkan oleh ayahnya, Ptolemaios I Soter.[2]
Perpustakaan Aleksandria adalah salah satu perpustakaan terbesar dan terpenting pada zaman kuno, tetapi seluk-beluk mengenai perpustakaan ini bercampur-baur dengan legenda.[15] Sumber keterangan pertama mengenai pendirian perpustakaan ini adalah Surat Aristeas yang ditulis sekitar tahun 180 hingga 145 SM.[20][21][13] Menurut naskah ini, Perpustakaan Aleksandria didirikan pada masa Ptolemaios I Soter (berkuasa sekitar tahun 323 hingga 283 SM), dan awalnya perpustakaan ini diurus oleh Demetrios dari Faleron, murid Aristoteles yang diasingkan dari Athena dan mengungsi di istana Wangsa Ptolemaios di Aleksandria.[21][13] Namun, Surat Aristeas ditulis bukan pada masa pendirian perpustakaan ini dan di dalamnya juga terkandung keterangan yang ternyata keliru.[21] Sumber-sumber lain mengklaim bahwa perpustakaan ini didirikan pada masa kekuasaan anak Ptolemaios I, Ptolemaios II Filadelfos (berkuasa 283–246 SM).[3]
Para ahli modern sepakat bahwa meskipun Ptolemaios I mungkin adalah orang yang menyiapkan rancangan pendirian perpustakaan ini, kemungkinan perpustakaannya sendiri baru benar-benar dibangun pada masa pemerintahan Ptolemaios II.[21] Pada masa tersebut, Demetrios dari Faleron sudah tidak lagi didukung oleh Wangsa Ptolemaios, sehingga kemungkinan ia sama sekali tidak bersumbangsih terhadap pendirian lembaga perpustakaan ini.[2] Namun, pakar sejarah klasik Stephen V. Tracy berpendapat bahwa kemungkinan besar Demetrios pernah membantu mengumpulkan paling tidak beberapa naskah yang kemudian akan menjadi bagian dari koleksi perpustakaan ini.[2] Pada kisaran tahun 295 SM, Demetrios mungkin sudah memperoleh naskah yang berisikan tulisan Aristoteles dan Teofrastos, dan ia memang merupakan orang yang bisa melakukannya, karena ia adalah anggota mazhab Peripatos.[22]
Perpustakaan ini dibangun di dekat istana kerajaan di kawasan Brukeion (daerah Yunani di Aleksandria yang bersebelahan dengan pesisir). Perpustakaan ini merupakan bagian dari lembaga yang lebih besar, yaitu Mouseion.[23] Mouseion sendiri, sesuai namanya, adalah sebuah kuil yang dipersembahkan untuk para Musai.[4] Tujuan utama pendirian perpustakaan ini adalah untuk mengumpulkan semua buku yang ditulis dalam bahasa Yunani dan buku karya suku bangsa lain yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, menyunting karya-karya penyair dan dramawan Yunani Klasik dalam bentuk aslinya, serta mendirikan perpustakaan penelitian untuk para ahli dari segala bidang.[23] Namun, menurut sejarawan David C. Lindberg, tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan kekayaan Mesir, sementara penelitian adalah tujuan keduanya.[20] Tata letak perpustakaan ini tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat sebuah kebun, tempat perjamuan, ruang membaca, balai ceramah, dan ruang pertemuan di gedung Mouseion.[24] Di sebuah balai, terdapat rak-rak untuk koleksi gulungan papirus, dan rak-rak ini disebut bibliothekai (βιβλιοθῆκαι). Konon di atas rak tersebut terdapat inskripsi yang bertuliskan: "Tempat penyembuhan jiwa."[25]
Peta Aleksandria pada zaman kuno. Mouseion (di peta ini disebut "Museum") terletak di kawasan Broukeion ("Bruchium") di pusat kota di dekat pelabuhan besar ("Portus Magnus" di peta).[26]
Para penguasa dari Wangsa Ptolemaios berupaya untuk meningkatkan koleksi perpustakaan melalui kebijakan pembelian buku yang agresif.[27] Mereka mengirim petugas-petugas kerajaan dengan anggaran yang besar untuk membeli dan mengumpulkan teks sebanyak yang mereka mampu, tanpa memandang subjek atau penulisnya.[27] Salinan naskah yang tua lebih dipilih daripada yang baru, karena naskah baru sudah melalui banyak proses penyalinan, sehingga naskah tua dirasa lebih menyerupai naskah aslinya.[27] Petugas-petugas kerajaan berkali-kali mengunjungi pameran buku di Rhodos dan Athena.[28] Menurut seorang penulis kedokteran Yunani yang bernama Galenos, berdasarkan maklumat Ptolemaios II, setiap buku yang ditemukan di kapal-kapal yang berlabuh akan dibawa ke perpustakaan ini untuk disalin oleh juru tulis resmi.[3][29][8][17] Naskah aslinya disimpan di perpustakaan dan salinannya diberikan kepada pemiliknya.[9][8][17] Perpustakaan ini mencurahkan perhatiannya pada upaya untuk memperoleh naskah puisi-puisi Homeros, yang merupakan landasan pendidikan Yunani dan yang paling dikagumi dari puisi-puisi lainnya.[30] Oleh karena itu, Perpustakaan Aleksandria memperoleh banyak naskah puisi Homeros; setiap salinannya diberi tanda untuk menunjukkan tempat asalnya.[30]
Selain mengumpulkan karya dari masa lalu, gedung Mouseion juga menjadi tempat berkumpulnya para cendekiawan, penyair, filsuf, dan peneliti. Menurut ahli geografi Yunani dari abad pertama SM, Strabo, mereka diberikan gaji yang besar, dan mereka juga mendapatkan makanan dan tempat tinggal gratis serta pengecualian dari pajak.[31][32] Mereka memiliki sebuah balai perjamuan yang besar dan berbentuk bundar dengan atap kubah yang tinggi.[32] Selain itu, sejumlah ruangan kelas disediakan bagi mereka untuk mengajar.[32] Ptolemaios II Filadelfos konon sangat tertarik dengan ilmu zoologi, sehingga muncul dugaan bahwa gedung Mouseion mungkin juga pernah memiliki kebun binatang untuk hewan-hewan langka.[32] Menurut pakar sejarah klasik Lionel Casson, tujuan pemberian tunjangan tersebut yakni agar para cendekiawan tidak perlu memikirkan beban kehidupan sehari-hari dan agar mereka dapat memusatkan perhatiannya pada penelitian.[27] Strabo menjuluki para cendekiawan yang tinggal di Mouseion dengan sebutan σύνοδος (synodos), yang berarti "komunitas".[32] Setidaknya pada tahun 283 SM, jumlah mereka berkisar tiga puluh hingga lima puluh orang.[32]
Jenderal Romawi Yulius Kaisar terpaksa membakar kapal-kapalnya sendiri saat terjadinya Pengepungan Aleksandria pada tahun 48 SM.[8] Banyak penulis kuno yang melaporkan bahwa apinya menjalar ke Perpustakaan Aleksandria dan melalap paling tidak sebagian dari koleksi perpustakaan tersebut.[8] Namun, perpustakaan ini tampaknya berhasil bertahan sebagian atau dibangun ulang tidak lama sesudahnya.[8]
Pada tahun 48 SM, ketika perang saudara tengah berkecamuk di Republik Romawi, Yulius Kaisar dikepung di Aleksandria. Pasukannya membakar kapal-kapal mereka sendiri untuk menahan armada yang dimiliki oleh saudara Kleopatra, Ptolemaios XIV.[50][8] Api menjalar ke daerah perkotaan yang terletak dekat dengan dermaga dan mengakibatkan kehancuran.[70][8] Seorang filsuf dan dramawan Romawi dari abad pertama Masehi yang bernama Seneca Muda pernah mengutip sebuah pernyataan dari Ab Urbe Condita Libri karya Livius (yang ditulis antara tahun 63 hingga 14 SM), yang mengatakan bahwa kebakaran tersebut menghancurkan 40.000 gulungan di Perpustakaan Aleksandria.[50][70][8][72] Tokoh platonisme Yunani yang bernama Plutarkos (sekitar tahun 46–120 M) pernah menulis dalam Kehidupan Kaisar: "[K]etika musuh berupaya memutus komunikasi lewat laut, ia terpaksa mengalihkan ancaman tersebut dengan membakar kapal-kapalnya sendiri, yang (...) kemudian menjalar dan menghancurkan perpustakaan besar."[8] Namun, sejarawan Romawi Kasius Dio (sekitar tahun 155–235 M) menulis bahwa ada "banyak tempat" yang terbakar, termasuk bangunan-bangunan lain seperti "galangan kapal dan tempat penyimpanan gandum dan buku, yang dikatakan berjumlah besar dan merupakan yang terbaik."[73][70][8] Namun, Florus dan Lukanus menulis bahwa yang terbakar adalah armada itu sendiri dan "rumah-rumah di dekat laut".[74]
Kutipan dari Kasius Dio telah menimbulkan penafsiran bahwa kebakarannya tidak menghancurkan seluruh perpustakaan, tetapi hanya tempat penyimpanan yang terletak di dekat dermaga yang dipakai oleh perpustakaan tersebut untuk menyimpan gulungan.[73][70][8][75] Terlepas dari perdebatan ini, Perpustakaan Besar Aleksandria tidak hangus dilalap api.[73][70][8][75] Strabo menulis bahwa ia pernah mengunjungi Mouseion sekitar tahun 20 SM, beberapa dasawarsa setelah kebakaran yang dipicu oleh pasukan Yulius Kaisar, dan hal ini menyiratkan bahwa perpustakaan ini selamat dari bencana kebakaran atau dibangun lagi tak lama sesudahnya.[73][8] Walaupun begitu, cara Strabo dalam menjelaskan Mouseion menunjukkan bahwa lembaga ini sudah tidak semasyhur sebelumnya.[8] Strabo sendiri memang membicarakan Mouseion, tetapi ia tidak menyebut soal perpustakaan ini secara terpisah, sehingga terdapat kemungkinan bahwa perpustakaan ini benar-benar sudah merosot statusnya pada masa itu.[8] Nasib Mouseion setelah kunjungan Strabo tidak diketahui secara pasti.[50]
Selain itu, Plutarkos mencatat dalam Kehidupan Markus Antonius bahwa pada tahun-tahun menjelang Pertempuran Aktion pada tahun 33 SM, Mark Antonious konon telah menyerahkan semua gulungan di Perpustakaan Pergamon yang berjumlah 200.000 kepada Kleopatra.[73][70] Plutarkos sendiri memberikan catatan bahwa sumber pernyataan ini kadang-kadang tidak dapat diandalkan, dan terdapat kemungkinan bahwa kisah ini hanyalah sebuah propaganda yang dimaksud untuk menunjukkan bahwa Markus Antonius setia kepada Kleopatra dan Mesir dan bukan kepada Roma.[73] Namun, menurut pendapat Casson, kalaupun kisah ini memang bualan belaka, kisah tersebut tidak akan dikarang kecuali jika Perpustakaan Besar Aleksandria memang masih ada.[73] Sementara itu, Edward J. Watts berpendapat bahwa hadiah dari Markus Antonius mungkin dimaksudkan untuk mengisi kembali koleksi perpustakaan.[70]
Bukti lain yang menunjukkan bahwa perpustakaan ini masih ada setelah tahun 48 SM berasal dari fakta bahwa penulis ulasan yang paling penting pada akhir abad pertama SM dan awal abad pertama Masehi adalah seorang cendekiawan di Aleksandria yang bernama Didimos Kalkenteros, dan gelarnya sendiri (Chalkénteros atau Χαλκέντερος) berarti "perut perunggu".[76][73] Didimos konon telah membuat sekitar 3.500 hingga 4.000 buku, sehingga ia adalah penulis paling produktif pada zaman kuno.[76][71] Ia juga diberi julukan βιβλιολάθης (Biblioláthēs), yang berarti "pelupa buku", karena konon ia tidak dapat mengingat semua buku yang pernah ia tulis.[76][77] Sebagian dari ulasan-ulasan Didimos tersimpan dalam bentuk kutipan-kutipan, dan sumber-sumber inilah yang diandalkan oleh para ahli modern untuk mengetahui karya-karya penting para cendekiawan di Perpustakaan Aleksandria.[76] Lionel Casson menyatakan bahwa karya Didimos yang luar biasa tidak mungkin dibuat jika ia tidak dapat mengakses naskah-naskah di perpustakaan ini.[73]
Berdasarkan bukti-bukti yang terpencar, pada abad ke-4, sebuah lembaga yang disebut "Mouseion" mungkin telah didirikan kembali di tempat yang berbeda di Aleksandria.[82] Namun, tidak ada satu keterangan pun mengenai lembaga ini.[82] Lembaga ini mungkin memiliki beberapa buku, tetapi skalanya jelas tidak dapat dibandingkan dengan Perpustakaan Besar Aleksandria.[84] Pada akhir abad ke-4, perpustakaan Serapeion mungkin memiliki koleksi buku terbesar di Aleksandria.[85] Pada dasawarsa 370-an dan 380-an, Serapeion juga masih menjadi tempat peziarahan bagi penganut paganisme.[86]
Selain memiliki perpustakaan terbesar di Aleksandria, Serapeion masih berfungsi sebagai kuil dan bahkan di situ juga terdapat ruangan-ruangan kelas untuk para filsuf yang mau mengajar.[86] Serapeion cenderung menarik para pengikut aliran neoplatonisme Iamblikos.[86] Kebanyakan dari para filsuf ini tertarik dengan bidang teurgi, yaitu kajian ritual kultus dan praktik agama esoterik.[86] Filsuf Damaskios yang beraliran neoplatonisme (hidup sekitar tahun 458–setelah tahun 538) mencatat bahwa seorang lelaki yang bernama Olimpos datang dari Kilikia untuk mengajar di Serapeion, dan ia mengajarkan murid-muridnya dengan penuh semangat mengenai aturan pemujaan dewa secara tradisional dan praktik keagamaan kuno.[87] Ia memerintahkan murid-muridnya untuk memuja dewa-dewa dengan cara lama, dan mungkin ia juga mengajarkan mereka teurgi.[88]
Pada tahun 391, sekelompok pekerja Kristen di Aleksandria menemukan peninggalan Mithraion kuno.[88] Mereka memberikan beberapa benda yang dipakai untuk pemujaan kepada Uskup Aleksandria Teofilos.[88] Teofilos memerintahkan agar benda-benda tersebut diarak di jalanan untuk diejek dan diolok-olok.[88] Kaum pagan di Aleksandria pun murka, terutama para pengajar filsafat neoplatonisme dan teurgi di Serapeion.[88] Para guru di Serapeion mengangkat senjata dan melancarkan serangan gerilya terhadap warga Kristen di Aleksandria bersama dengan murid-murid mereka dan para pengikut lainnya. Dalam serangan ini, mereka membunuh banyak orang hingga akhirnya mereka terpaksa mundur.[88] Kaum Kristen membalasnya dengan menyerang dan menghancurkan Serapeion,[89][90] walaupun sebagian dari barisan tiangnya masih berdiri hingga abad ke-12.[89] Namun, tidak ada catatan sejarah mengenai kehancuran Serapeion yang menyebutkan soal keberadaan sebuah perpustakaan, dan sumber-sumber yang ditulis sebelum Serapeion dihancurkan menyebut keberadaan buku dengan menggunakan kala lampau, sehingga kemungkinan Serapeion sudah tidak memiliki koleksi buku yang besar ketika tempat ini dihancurkan.[91][90]
Walaupun nasib Hipatia berakhir tragis, ia bukanlah satu-satunya penganut paganisme di Aleksandria, dan ia juga bukan filsuf neoplatonisme yang terakhir.[102][103] Neoplatonisme dan paganisme masih tetap ada di Aleksandria dan wilayah Mediterania Timur selama berabad-abad setelah ia menjemput ajalnya.[102][103] Ahli Egiptologi Charlotte Booth memberikan catatan bahwa ada banyak balai ceramah akademik baru yang dibangun di Kom el-Dikka, Aleksandria, tak lama setelah kemangkatan Hipatia, sehingga filsafat kemungkinan masih diajarkan di sekolah-sekolah Aleksandria.[104] Penulis dari akhir abad ke-5, Zakarias Skolastikos dan Aeneas dari Gaza sama-sama membahas "Mouseion" sebagai sesuatu yang menempati ruang fisik.[82] Arkeolog telah mengidentifikasi balai-balai ceramah dari masa ini yang berada di dekat Mouseion dari zaman Ptolemaios, dan mungkin balai-balai inilah yang dimaksud dengan "Mouseion" oleh para penulis ini.[82]
Pada tahun 642, Aleksandria direbut oleh pasukan Muslim yang dipimpin oleh Amru bin Ash. Beberapa sumber sejarah berbahasa Arab menjelaskan tentang kehancuran perpustakaan ini atas perintah dari Khalifah Umar bin Khattab.[105][106][107] Bar-Hebraeus juga menulis pada abad ke-13 bahwa Umar pernah berkata kepada Yaḥyā an-Naḥwī (Ioannes Filoponos): "Jika buku-buku tersebut sesuai dengan Al-Qur'an, kami tidak membutuhkannya; dan jika bertentangan dengan Al-Qur'an, hancurkanlah."[105] Para ahli dari zaman berikutnya meragukan kebenaran kisah ini karena baru ditulis lama setelah masa Umar, sehingga terdapat kemungkinan bahwa penulis yang membuat kutipan tersebut memiliki niatan politik.[108][109]
Koleksi di Perpustakaan Aleksandria terdiri dari gulungan-gulungan papirus.[110] Keberadaan Perpustakaan Aleksandria secara tidak langsung menjadi penyebab pembuatan perkamen, yaitu media tulis yang terbuat dari kulit hewan. Orang-orang Mesir menolak menjual papirus kepada pesaing mereka di Perpustakaan Pergamon, sehingga Pergamon harus mengembangkan perkamen sebagai media penulisannya sendiri.[111]
Jumlah koleksi Perpustakaan Aleksandria tidak dapat ditentukan secara pasti. Raja Ptolemaios II Filadelfos (309–246 SM) konon pernah memasang target sebesar 500.000 gulungan untuk perpustakaan ini. Pada abad pertama SM, perpustakaan ini dilaporkan memiliki 40.000 gulungan, 400.000 gulungan, atau bahkan 700.000 gulungan. Namun, tidak diketahui ada berapa banyak karya yang disimpan di perpustakaan ini, karena satu karya bisa terdiri dari sejumlah gulungan.[6]
Hingga kini belum ada papirus yang ditemukan berasal dari perpustakaan ini.[112][110] Sebagai sebuah lembaga penelitian, perpustakaan ini mengisi koleksinya dengan karya-karya ilmiah, khususnya dalam bidang astronomi, matematika, kedokteran, dan filsafat. Sebagian besar karya di perpustakaan ini ditulis dalam bahasa Yunani Kuno, tetapi ada pula naskah yang tertulis dalam bahasa lain seperti bahasa Mesir Kuno dan bahasa Ibrani. Selain itu, di perpustakaan ini juga ada naskah berbahasa asing dari Persia dan India mengenai agama Zoroaster dan Buddha.[113][114] Suatu karya sering kali memiliki lebih dari satu versi, sehingga dapat disimpulkan bahwa para cendekiawan di perpustakaan ini berkecimpung dalam kritik tekstual.[115]
Perpustakaan Aleksandria adalah salah satu perpustakaan terbesar dan paling bergengsi pada zaman kuno, tetapi perpustakaan ini bukanlah satu-satunya perpustakaan di dunia.[7][116][117] Pada akhir zaman Helenistik, hampir semua kota besar di kawasan Mediterania Timur memiliki perpustakaan umum, dan banyak kota berukuran sedang yang juga memiliki perpustakaan.[7][4] Pada zaman Romawi, jumlah perpustakaan terus bertambah.[118] Pada abad keempat Masehi, terdapat paling tidak dua lusin perpustakaan umum di Kota Roma.[118]
Pada akhir zaman kuno, ketika agama Kristen menyebar di Kekaisaran Romawi, perpustakaan-perpustakaan Kristen dibangun dengan mengikuti model Perpustakaan Aleksandria di wilayah kekaisaran yang berbahasa Yunani.[118] Contohnya adalah Perpustakaan Teologi Kaisarea Maritima, Perpustakaan Yerusalem, dan perpustakaan Kristen di Aleksandria.[118] Perpustakaan-perpustakaan ini menyimpan tulisan pagan dan Kristen,[118] dan para cendekiawan Kristen yang sedang mengkaji Alkitab menggunakan teknik filologi yang sama dengan teknik cendekiawan-cendekiawan di Perpustakaan Aleksandria dalam mengkaji teks-teks klasik Yunani.[118] Walaupun begitu, kajian Alkitab tetap diutamakan oleh mereka hingga masa Renaisans.[118]
Namun, naskah-naskah kuno terus diturunkan hingga zaman modern bukan berkat keberadaan perpustakaan-perpustakaan besar, tetapi justru karena naskah-naskah tersebut terus disalin, pada mulanya oleh juru tulis profesional pada zaman Romawi dengan menggunakan papirus dan kemudian oleh para biarawan pada Abad Pertengahan dengan menggunakan perkamen.[1][119]
Artikel utama: Bibliotheca AlexandrinaBagian dalam Bibliotheca Alexandrina.
Gagasan untuk membangkitkan kembali Perpustakaan Aleksandria pada zaman modern pertama kali dicetuskan pada tahun 1974 ketika jabatan kepala Universitas Iskandariyah dipegang oleh Lotfy Dowidar.[120] Pada Mei 1986, Mesir meminta kepada Badan Eksekutif UNESCO untuk melakukan kajian kelayakan.[120] Maka dimulailah keterlibatan UNESCO dan komunitas internasional dalam upaya untuk mewujudkan proyek ini.[120] Pada tahun 1988, UNESCO dan UNDP menggelar sayembara arsitektur internasional untuk merancang gedungnya.[120] Sementara itu, Mesir menyiapkan empat hektare lahan untuk gedung perpustakaannya dan juga mendirikan Komisi Tinggi Nasional untuk Perpustakaan Aleksandria.[121] Presiden Mesir Hosni Mubarak sendiri sangat tertarik dengan proyek ini, alhasil proyek ini terus mengalami kemajuan.[122] Proyek ini akhirnya dituntaskan pada tahun 2002, dan Bibliotheca Alexandrina kini berfungsi sebagai perpustakaan modern dan pusat kebudayaan. Di perpustakaan ini juga terdapat International School of Information Science (ISIS), yaitu sekolah yang menawarkan pendidikan pascasarjana untuk petugas perpustakaan profesional.[123]